Senin, 19 November 2018

Resistensi Orang Minangkabau pada Kaum LGBT

  adminmesumpedia       Senin, 19 November 2018
Oleh: Erianjoni (Dosen Sosiologi UNP Padang)

Dalam realitas kehidupan orang Minangkabau  yang beridiom ‘adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah’ secara jelas dan tegas menolak LGBT, walaupun fenomena LGBT terbukti ada dalam masyarakat ini, sejak tahun 2009 yang lalu berbagai ormas Islam telah menolak dan membubarkan kontes pemilihan Ratu waria Kota Padang. Sejak gencarnya gerakan LGBT yang mau mendirikan organisasi mereka di Kota Bukittinggi tahun 2014 lalu juga mendapat tekanan dari sejumlah organisasi keagamaan di Kota Bukitinggi. Puncaknya berdasarkan survey yang digelar oleh Badan Rencana Pembangunan Daerah Sumatera Barat dan Lembaga Konseling Relasi akhir tahun 2017 dan dirilis melalui pernyataan Wakil Gubernur Nasrul Abit di awal tahun 2018 yang lalu, bahwa data sementara Sumbar memiliki kaum LGBT terbanyak di Indonesia, malah diperkirakan puluhan ribu orang adalah bagian dari LGBT tersebut.
Dalam pendekatan sosio-kultural masyarakat Minangkabau, semua jenis penyimpangan selalu diberi sanksi, di antara sanksi tersebut adalah sanksi sosial yang diberikan pada orang yang menyimpang melalui pelabelan negatif, khusus untuk pelaku seks menyimpang seperti LGBT diberikan sanksi seperti, bujang gadih (pria yang feminin), upiak jantan (wanita yang maskulin), talua saparo masak (pria/ wanita yang tidak jelas orientasi seksualnya) atau ada juga yang memberi istilah kapadusi-padusian dan kali-lakian pada perilaku yang bertentangan dengan gender (Erianjoni, 2015). Dalam Navis (1994) dalam tradisi surau ditemukan istilah anak jawi (pria yang piaraan kaum homo). Menariknya pada seni tradisional seperti randai dan tari-tarian tradisional Minangkabau, justru peran perempuan dimainkan oleh laki-laki yang dirias dan diberikan kostum seperti perempuan. Sebenarnya tampilnya laki-laki ke dalam seni membawakan peran perempuan sampai tahun 1980-an dalam seni tradisional Minangkabau memiliki fungsi protektif untuk melindungi kaum perempuan dari eksploitasi laki-laki, yang diantaranya mungkin ada dari mereka yang menjadi parewa dalam hiburan malam tempo dulu.
Menyingkapi keberadaan LGBT pada masyarakat Minangkabau dalam konteks kekinian, banyak fakta menarik yang perlu disikapi bahkan ditolak, sementara gerak kaum LGBT terus berevolusi setahap demi setahap dalam membangun kekuatan mereka. Biasanya kaum LGBT menggunakan media sosial sebagai wadah untuk berinteraksi sosial sesama mereka diantaranya; LGBT Padang (31 orang), Forum Belok Nusantara (organisasi lesbian yang saat ini beranggotaan hampir 2200 orang), Waria Padang butuh kasih sayang (1300 orang), Grup Waria Bokingan Kota Padang (635 anggota), Pecinta Tante Waria Padang (920 anggota), Komunitas Gay Bukittinggi Sejati (514 anggota) dan Gay Bukittinggi Khusus yang Dewasa (598 anggota). Puncaknya pada salah satu kasus yang sempat menjadi pemberitaan heboh di media massa tanah air, yaitu ketika KUA Padang Timur membatalkan pernikahan DMD dan MMP pada tanggal 14 Februari 2016 lalu, karena dianggap merupakan pernikahan sejenis.
Secara nyata kaum LGBT di daerah Sumatera Barat, mereka biasanya identik dengan dunia salon, PSK Waria, pijit plus, Sanggar Tari, Pramuniaga Mall, karyawan hotel, pelajar atau mahasiswa dan pada dunia hiburan malam. Jika dilakukan razia terhadap ‘pekat’ (penyakit masyarakat) hampir selalu yang kena razia tersebut ada para waria. Di percaturan dunia selebritis Indonesia malah terkenal dua sosok yang merupakan transeksual seperti Dorce Gamalama dan Solena Caniago yang keduanya berasal dari Sumatera Barat.
Terkait dengan fenomena di atas kekuatan nilai-nilai agama khususnya Islam adalah paling mumpuni mengatasi maraknya fenomena LGBT (TQS. Al ‘Araf: 80 – 81 dan hadits  Abu Said Al-Khudriy yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (No. 338), At-Tirmidzi (No. 2793) dan Abu Dawud (No. 4018). Selain itu mekanisme pengendalian sosial yang bersifat preventif dianggap harus diterapkan supaya korban bertambah (sadio payuang sabalun hujan), dilakukan melalui pendidikan nilai dalam keluarga, bisa dilakukan dengan peran pendidikan formal yaitu sekolah dan perguruan tinggi serta melalui adanya wacana Perda Anti LGBT di Sumbar dan di sisi lain pada para anak-kemanakan yang telah terjerumus perlu diterapi mental mereka dengan berbagai pendekatan psikoterapi, sosioterapi dan resosialisasi nilai religi (dima tumbuah disiangi). *

Tentang Penulis
Dr. Erianjoni, M.Si. Lahir di Baso 28 Feb 1974. Menempuh pendidikan S1 di Jurusan Sosiologi UNAND Tamat 1998, melanjutkan ke Magister Sosologi UGM dg kajian Sosiologi Perilaku Menyimpang dan Kriminalitas selesai tahun 2006. Gelar Doktor diraih di almamaternya sendiri Pascasarjana UNP dalam Ilmu Pendidikan tahun 2014 Saat ini di samping mengajar di Jurusan Sosiologi dan beberapa Magister pd PPs UNP juga aktif dalam beberapa Pusat Studi diantaranya PK Gebrak (Pusat studi Anti Korupsi), Pusat Kajian Sosial Budaya dan Ekonomi (PKBSE), dan Pusat Studi Kebencanaan. Selain itu juga banyak menulis dan pengamat sosial di berbagai media lokal, cetak, elektronik, online baik lokal maupun nasional.
sumber : https://redaksisumbar.com/opini-resistensi-orang-minangkabau-pada-kaum-lgbt/
logoblog

Thanks for reading Resistensi Orang Minangkabau pada Kaum LGBT

Previous
« Prev Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar